The only reason

Karina
7 min readJun 16, 2020

--

Beberapa waktu belakangan ini gue cukup sering bertanya perihal “Free will / Fate?” ke temen-temen gue. Sebenernya, gak ada alasan kuat kenapa gue nanyain hal ini. Se-simple gue penasaran aja pandangan orang-orang terdekat gue tentang hidup tuh gimana. Gue pribadi bisa dibilang adalah a hard believer of Fate. Takdir. Skenario kehidupan. Or whatever you guys called it.

Gue percaya kalau setiap makhluk hidup di muka bumi ini, punya jalan cerita-nya masing-masing dan sudah tertulis jelas dari awal sampai akhir ceritanya gimana. Gue percaya kalau, hehehe, this one might sounds truly ridiculous but, gue percaya; every free-will we thought we ever took, is just another fate we need to walk on, to pass, to get through. #NoDebat. Hahaha. Nggak, nggak. Maksudnya gini, gue cuma mau deklarasi hal yang gue percaya, dan gue tetap akan percaya akan hal ini sambil juga menghormati pandangan kalian JIKA menurut kalian, kepercayaan gue ini konyol or else. LOL.

Tapi, beberapa hari yang lalu, I had a conversation with a friend of mine, yang bikin gue jadi mikir the other way around, gue mikir (dan bertanya pada diri gue sendiri);

kalau hidup itu (bener) pilihan, apa ya yang bikin gue, sampai saat ini, memilih untuk masih hidup? Apa alasan gue? Motivasi gue?

Dan satu-satunya jawaban yang muncul di otak pada saat itu adalah, gak lain dan gak bukan: Fabian. Fabian Isaac.

Every time I look at those tiny little fingers, they always made me go:

Some of you might already know who Fabian is. Dan untuk yang belum tahu; bukan, dia bukan crush gue. Apa lagi pacar gue, bukan. Fabian itu adik sepupu gue, anak satu-satunya dari Alm. Mam, tante gue, yang “dititipkan” ke gue untuk dijaga, dirawat, dikasihi, sebagaimana Mam mengasihi anak satu-satunya itu. Unfortunately, sampai detik ini, karena satu dan lain hal, gue belum bisa menjalankan peran gue itu. Dan karena itu, Fabian berubah dari yang tadinya hanya adik sepupu kesayangan gue, jadi satu-satunya alasan gue masih bisa nulis Medium ini sekarang; Masih sadar; Masih ngerjain skripsi; Masih beli dimsum tiga ribuan; Masih apply internship; Masih berusaha ngejar gelar sarjana; OR BASICALLY, Fabian udah jadi alasan (satu-satunya, I think?) gue masih — memilih untuk — hidup, sampai saat ini.

Banyak hal sejak tahun 2018 yang bikin gue mikir “Gue gak takut mati”,

Tapi setiap ingat anak itu, Fabian, gue selalu kayak dapat kekuatan baru, If that make any sense. Pikiran-pikiran negatif yang mendorong gue untuk berhenti, untuk nyerah, selalu kalah sama keinginan gue untuk bahagiain Fabian; untuk kasih dia kehidupan yang layak; untuk ajak dia main ke dufan; untuk liat dia minum Milo Dino XXI sampe belepotan; untuk liat dia terus hidup, bertumbuh, dan berkembang. Banyak sih, alasan-alasan lain yang mungkin juga jadi alasan gue masih menginjak bumi saat ini. Contohnya bahagiain nyokap bokap gue, atau impian gue untuk terbang kuliah di Jerman. Tapi, kalau itu semua gak bisa gue capai, ya.. ya udah. Masih ada Joshua (adek gue) yang bisa bahagiain nyokap bokap gue, kalau gue gagal. Dan lanjut kuliah ya gak harus terbang ke Jerman.

Atau, premis lain, kalau semua alasan-alasan lain (selain Fabian) itu gak bisa gue capai tapi bisa gue tukar dengan kematian yang tenang, I think I’m going to take that chance.

Misal, nih, gue dikasih kesempatan untuk mati dengan tenang saat ini, tanpa rasa sakit, dan dengan jaminan orang-orang yang gue “tinggal” gak bakal ngerasa bersalah or whatsoever, I’ll be happily take that chance.

I mean, siapa sih yang gak capek sama hidup? Apa lagi untuk manusia-manusia kayak gue yang minim prestasi, minum apresiasi, minum fungsi untuk khalayak ramai. Menurut gue akan sangat wajar untuk merasa capek akan kehidupan. Tapi, kalo di detik yang sama gue diingetin akan Fabian, boom. Gak jadi. Hahaha. I’ll take another option, no matter how hard it’s going to be, how exhausting it would be, or how painful it could be. Kenapa gitu? Ya balik lagi, karena dia alasan terbesar gue mau bertahan sampai saat ini. Kalau gue tetep pada pilihan pertama gue — kalimat pertama paragraf ini — , kayaknya legal untuk gue dicap sebagai orang paling jahat, egois, bahkan self-centered se-dunia.

Yang terjadi kurang lebih mungkin akan seperti ini:

Ketika gue ambil pilihan pertama itu, mungkin gue gak akan ngerasa gimana-gimana, mungkin gue gak akan ngerasa sakit, mungkin orang-orang yang gue tinggal gak akan ngerasa bersalah seperti perjanjian gue dengan si pemberi kesempatan di awal, tapi Fabian? Gimana dengan dia? Apakah ada jaminan setelah gue pergi, Fabian akan mendapatkan hal-hal yang gue janjikan untuk gue kasih ke dia dari orang lain? Apakah akan ada jaminan bahwa ada orang lain yang sayang sama dia sesayang gue ke dia? Kayaknya sih nggak. Gak ada jaminan kayak gitu di awal. Gak ada perjanjian kayak gitu di awal. Dan sebab itu, I won’t EVER take that chance.

Satu hal yang gue percaya dari hasil kontemplasi gue kali ini adalah; gue percaya setiap kita, pasti punya MINIMAL SATU Fabian dalam hidup kita. It could be a person, a dream, a thing, atau apapun. Mulai dari sini, mari kita gunakan kata Fabian sebagai kata ganti untuk “alasan hidup”, ya.

Pokoknya, si 1 Fabian ini deh yang bikin setiap kita tetap menginjak bumi sampai saat ini, mau sesusah apapun, seberat apapun, sekeras apapun, dan sesakit apapun kehidupan yang kita jalanin. Maka berangkat dari sini, I did some quick little research. Gue tanya ke beberapa teman gue,

“After everything you’ve been through, the goods; the bads; Kalo boleh sebutin 1, alasan lo masih hidup sampai sekarang apa?”

Beberapa jawaban yang gue dapat adalah:

“Karna takut mati wkwkwkw”

“gue takut mati anjeng”

“Takut mati wkwk”

“gue belom kaya raya, belom jalan2 keliling dunia”

“skinker gue belom lamer”

“gue belom ngewe”

“GUE BELOM PERNAH MABOK ANJING”

“gue mau nyoba pake menstrual cup dulu. biar ga mati penasaran”

“mungkin karna gue blm bisa berguna buat banyak org kali ya”

“Dunia ini masih terlalu seru untuk ditinggalkan.”

“Tuhan Yesus. Wkwkwkwk”

“Tuhan”

“gue masih dikasih waktu sampe sekarang. belum di udahin, kenapa gue harus ngudahin”

“Kyknya karna banyak org yg pgn gw senengin”

“Pengen bahagia”

“hmm alesannya karena gue pengen bahagia”

“Biar ortu bahagia anaknya guna hehe”

“ibu”

“I just wanna thank everyone and everything that support me for my entire life”

“Alesan gue hidup? Gue pengen ngebahagiain keluarga gue kar”

“Kalo bahagiain org tua terlalu basi ga?”

“Apa yeeee. Pengen tau aja si nasib gua selanjutnya apaan. Udah itu ajasi. Udah itu doang.”

“Karna gua masih berharap gua punya future yg bagus,”

“Gua masih berharap nantinya gua bakal bahagia & have family and stuff”

“keinget oma gua terus kaya gua yakin dia gamau gua selfish by taking my own life and stuff”

Dari jawaban-jawaban itu gue belajar kalau Fabian di hidup mereka itu emang beneran bisa jadi apa dan siapa aja. Gak peduli se-receh apapun, gak peduli se-basi apapun, all these things keeps us alive.

Tapi gimana dengan orang-orang yang gak bisa nemuin Fabian di hidup mereka itu apa — atau siapa? Kalau mereka gak punya mimpi? Kalau mereka merasa kebahagiaan keluarga bahkan bukan tanggung jawab dan beban mereka? Kalau mereka kayak gue, gak takut mati? Ada satu jawaban yang paling ngena di gue, yang bahkan jadi alasan kenapa tulisan ini ada;

“Mungkin gue akan hidup penuh dengan pelajaran2 menarik yg dateng buat gue. Disakitin. Gadianggep. Gadiliat. Tp gue yakin dari itu semua gue akan metik sesuatu yang jadi bekal gue buat tetep lanjut. Itu satusatunya alasan gue masih nginjek bumi.”

Dari satu jawaban terakhir ini, gue — dan orang ini — sepakat kalau Fabian di hidup dia ya diri dia sendiri. Klise, ya? Wkwkwk. Tapi bisa lah, ya, kita anggap kalau orang-orang yang gak bisa nemuin apa atau siapa Fabian di hidup mereka, ya berarti sama kayak si pencetus jawaban terakhir ini;

Fabian di hidup mereka ya diri mereka sendiri.

Kalau mereka berhenti, mereka nyerah, ya ya udah, mereka gak akan pernah dapet kesempatan kedua untuk dapet pelajaran-pelajaran menarik yang gak tau kapan datangnya; mereka gak akan tau sejauh apa mereka bisa pergi untuk lanjut studi; mereka gak akan tau siapa pasangan hidup mereka (kalau belum ketemu); mereka gak akan tau gimana muka anak mereka (kalau belum punya anak); dan mereka gak akan tau Fabian-fabian apa lagi yang akan mereka temuin untuk jadi bekal mereka terus lanjut sampai ketika waktunya emang harus berhenti.

Beberapa hari yang lalu gue nemu tweet yang gue suka banget dan karena gue gak mau post kali ini jadi bentuk dari toxic positivity, gue mau minta tolong ke kalian. (https://twitter.com/INEFFABLEKIM/status/1271849872581259264?s=20)

Kalau buat kalian paragraf sebelum ini terlalu klise dan maksa, gue mau kalian semua yang baca ini dan kebetulan tergolong ke dalam kelompok orang-orang yang gak bisa nemuin “Siapa Fabian di hidup kalian” untuk: please, bertahan.

Bertahan demi Semangkuk Indomie Soto pake telor di jam 3 pagi. Atau, demi bisa lebih lama lagi denger lagu-lagu enak di playlist On Repeat spotify kalian; Demi mandi pake air hangat jam 8 malem setelah capek macet-macetan di sudirman; Demi es kopi susu coffeeshop favorit kalian; Demi nontonin tik tok cewek-cowok cantik-ganteng yang bikin otak fresh; Demi terus ikut kelas dosen favorit lo yang pinternya kayak dewa; Demi terus jadi simp e-girl e-boy sampe di-notice; Demi Bakmie Roxy; Demi Dimsum Wing Heng; Demi nunggu Money Heist & Lucifer Season 5 yang belum tau release kapan; Demi Pasta The Kitchen; Demi Mentai Mana Kala; Demi bisa nongkrong di mall-mall favorit kalian; Demi menikmati sebotol CY hasil beli di GL; Demi seporsi taichan; Demi rewatch Fight Club untuk ke-sejuta kalinya; Demi seporsi nasi padang; Demi bisa nonton di bioskop lagi setelah pandemi ini kelar; Demi sekali lagi mempermalukan diri sendiri nyanyi saat live karaoke; Demi nonton Danilla live; Atau.. demi hal-hal receh apapun yang bikin kalian mau terus jalan ke depan.

Just please, hang in there.

--

--