7 Mei 2019

Karina
2 min readMay 7, 2019

--

Timothy Stevano on Twitter: “#TimoEdisiBijak: “I understand your feeling.is the worse sentence to comfort someone. Well, unless there is a technology in the future where we can feel the same experience they had, their emotions, all the trauma, the scars, the horror, the perfect understanding…”

Sebelum Timo ngomong gini, gue udah denger nasihat yang sama persis dari the one and only, Ibu Vio-ku tercinta, di kelas mata kuliah Psikologi Forensik.
Beliau bilang, “Jangan pernah kamu menghadapi klien, apa lagi klien-klien kasus forensik, dan bilang: Saya mengerti perasaan anda. Saya paham apa yang anda rasakan. Karena kenyataannya, tidak. Kamu tidak akan pernah bisa mengerti apa yang klien-mu rasakan, pun jika kamu pernah ada di posisi yang sama dengan klien-mu, pasti ada perbedaan.”

Well, sebelum denger nasehat ini, mungkin gue adalah satu dari sekian banyak manusia yang pernah dengan sotoy-nya pake kalimat tersebut untuk nenangin orang yang lagi menumpahkan keluh kesahnya ke gue — since I’m a professional “sandaran keluh”. Parahnya, I used to think that it was kind of mandatory sentence that we give to someone in need. Orang sering bilang: “treat others the way you want to be treated.” dan pada saat itu, yang ada dipikiran gue adalah, kalau gue ada di posisi orang yang lagi cerita, gue mau orang yang gue ceritain ini ngerti perasaan gue. Well at least, kalo pun mereka nggak ngerti, ya basa-basi aja kek gitu, biar gue ngerasa kalo gue gak sendirian. So that was exactly what I’ve become, jadi orang yang selalu pake kalimat sakti: gue ngerti kok apa yang lo rasain, setiap ada orang yang mempercayakan gue jadi “tong sampah”-nya. Padahal kalo mau jujur, paling cuma beberapa dari sekian buanyak cerita yang bisa bener-bener gue pahamin inti permasalahannya, dan berasa “I’ve been in your shoes” beneran.

Turns out, gak semua orang mau di-treat sebagaimana kita mau di-treat.
Turns out, kalimat gue-ngerti-kok-apa-yang-lo-rasain adalah kalimat paling buruk untuk nenangin orang.
And I get it now. Thank God gue tau hal se-sepele tapi se-krusial ini juga sebelum gue megang gelar Sarjana Psikologi. Kebayang gak, kalo hal se-simple ini nanti gak diketahui sama seorang Sarjana Psikologi lulusan dari PTN-BH terbaik ke-2 — menurut Ristekdikti — ? Malu-maluin, kan?

Jadi kalau gue boleh memberi nasihat sedikit, tolong.. berempati itu perlu, tapi penggunaan kalimat sakti yang ternyata bobrok itu, mulai dikurang-kurangin, ya?

--

--